Ekowisata Hutan Mangrove Di Kecamatan Sangkulirang-Kaubun
Awalnya saya ragu menulis tentang pengembangan Ekowisata Mangrove kawasan Pulau Seribu yang ada di wilayah administrasi Kecamatan Sangkulirang dan Kaubun, Kutai Timur. Keraguan ini adalah dikarenakan keterbatasan pengetahuan saya tentang Ekowisata, regulasinya, maupun tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan ini. Saya hanya memahami, bahwa sudah waktunya daerah tempat saya dibesarkan dan bahkan mungkin menghabiskan sisa hidup saya, harus memanfaatkan semua potensi yang ada untuk kemaslahatan orang banyak serta demi menjaga kelestarian alam.
Yang menjadi dasar pemikiran saya adalah juga kemampuan keuangan daerah untuk mewujudkannya. Saya kira, saya tidak perlu menguraikannya karena dapat kita lihat bahwa di daerah-daerah lain yang pendapatan daerahnya dibawah Kutai Timur, mampu membangun Ekowisata Mangrove, tentunya sangat bermanfaat bagi masyarakat karena berpengaruh pada Pendapatan Asli Daerah. Apalagi jika pengelolaan dipercayakan kepada Desa sekitar melalui BUMDesa serta lembaga lainnya.
Asas manfaat yang didapatkan dari pengelolaan Ekowisata Mangrove adalah ketersediaan lapangan kerja, jasa transportasi, kuliner, serta usaha jasa lainnya yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Tentu yang tidak kalah pentingnya dari Ekowisata ini adalah edukasi dan pelestarian kawasan mangrove dan ekosistem yang ada didalamnya.
Pastilah ini tidak sesederhana yang saya pikirkan. Namun, inti dari tulisan ini adalah telah tiba waktunya, paradigma pembangunan di daerah ini berpusat pada sumber ekonomi yang dapat diperbaharui dan bermanfaat jangka panjang, dengan tetap memperhatikan pelestarian alam.
Sudah cukup kiranya kita berorientasi pada pemanfaatan kekayaan alam "gila-gilaan" yang pada akhirnya ketika itu semua sudah habis hanya menyisakan "luka" bagi generasi yang akan datang.
Berikut petikan berita yang dirilis oleh Kompas.com. tanggal 07 April 2009 ;
Selasa, 7 April 2009 | 00:09 WIB
SOROWAKO, KOMPAS.com - Daerah yang kaya potensi sumber daya alam (SDA) seperti potensi tambang, mempunyai tantangan besar untuk mengembangkan SDA-nya secara lebih bijak.
Sebab, bila hanya mengandalkan "trickle down effect" atau kucuran berkah dari penambang skala besar di daerah saja, tidak akan menciptakan iklim ekonomi yang berkelanjutan, kata Akhmad Fauzi, salah seorang anggota tim peneliti IRESS dalam presentasi awalnya atas penelitian SDA di Luwu Timur (Lutim), Sulsel, kepada tim Departemen External Relations PT Inco, di Sorowako, Senin (6/4).
Bahkan pola semacam itu, hanya akan menciptakan "pacifiying effect" atau efek dot bayi, yang hanya bersifat sementara. Sehingga, ketika usaha tambang di daerah tersebut ditutup, hal itu, seringkali, menyisakan konflik sosial yang berkepanjangan.
Dia juga menambahkan, untuk menjaga kesinambungan pembangunan dan mengalihkan pola "trickle down effect" ke "horizontal wealth effect" mengimplikasikan bahwa pembangunan ekonomi di daerah harus bersifat horizontal tidak lagi bersifat vertikal (trickle down effect).
"Dengan demikian, setiap daerah hendaknya mempersiapkan sejak dini pengembangan ekonomi sumber daya alam alternatif selain tambang atau mineral untuk menjaga kesinambungan pengembangan ekonomi di daerah tersebut," ujar Akhmad Fauzi, yang juga Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Era kebijakan desentralisasi pengelolaan di tingkat daerah, yang populer dengan sebutan otonomi daerah, memicu daerah untuk meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan ekonominya dengan memanfaatkan apa yang dimiliki daerah tersebut.
Salah satunya adalah sumber daya alam (SDA) dan jasa lingkungan yang selama ini masih diandalkan sebagai "engine of growth" (mesin pertumbuhan) ekonomi di daerah.
Di sisi lain, sumber daya alam yang dimiliki daerah memang dapat menjadi pisau bermata dua. Ketiadaan kebijakan yang komprehensif akan menimbulkan fenomena "resource curse" (kutukan sumber daya) sebab daerah dengan sumber daya alam yang melimpah akan mengalami pertumbuhan yang rendah akibat disibukkan oleh konflik sosial dan ketamakan serta keserakahan. Namun bila dikelola dengan baik, SDA akan memberikan berkah kepada penduduk di sekitarnya". (Kompas.com. 07 April 2009).
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya mengutip makalah saudari Henny Fausta (Manusia dan Alam Ciptaan Tuhan) :
"Pemikiran bahwa manusia yang paling memiliki kepentingan yang dianggap akan paling menentukan tatanan ekosistem. Banyak yang berpandangan bahwa alam dapat dilihat sebagai objek, alat, dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia. Adanya pemikiran seperti itu akan memicu munculnya sikap yang tidak bersahabat dengan alam, dan tidak menghargai adanya lingkungan hidup untuk kepentingan banyak orang".
(Kaubun, 29 September 2020-Avon WW).
Komentar